Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Surayah, Bagaimana Aku Mengetahui dan Belajar Darinya

 


Beberapa hari yang lalu, salah satu di antara Imam Besar berdasar sepengetahuan saya berulang tahun. Ia adalah orang yang aktif di Front Pembela Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik, Kong Hu Chu, dan lain-lain. Selain itu ia juga sering mengenalkan dirinya sebagai imigran dari surga, berada di bumi hanya untuk menunaikan shalat jum’at.  

 



 

Hingga sekarang, sedangkal pengetahuan dan menurut saya, ada dua Imam Besar. Pertama ialah Surayah atau yang akrab disapa Ayah alias Pidi Baiq. Kedua, Imam Besar yang saya tahu dan kenal dan juga saya ngansu kaweruh dengannya yakni Wahyu Rizkiawan, selaku Imam Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah.   

 

Kedua Imam Besar tersebut senantiasa mengabarkan degup kebahagiaan. Berhubung pada tanggal berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (PERBARA)/ASEAN pada tanggal 8 Agustus, atau tiga hari yang lalu, Surayah berulang tahun.

 

Maka dari itu, sebagai bentuk ucapan matur sembah nuwun dari saya selaku hamba tuhan yang biasa-biasa saja, karena karya Kang Pidi senantiasa saya dengar dengan seksama dan senantiasa menghidupkan jiwa yang sunyi, sekali lagi, maka dari itu sebagai wujud rasa matur suksma,  izinkan saya untuk membuat tulisan ini.

 

Surayah/Ayah merupakan kreator novel Dilan. Bukan hanya sekedar itu, saya juga menangkap pesan semangat, kebahagiaan, dan kemanusiaan dalam beberapa karya Pidi Baiq. Ketika saya melihat, ucapannya, tingkahnya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, melahirkan efek senyuman. Tentu hal itu merupakan laku ibadah. Karena bisa membuat orang senang (terhibur).  

 

Sebenarnya, saya belum pernah bertemu secara langsung dengan Surayah. Saya hanya tahu tentangnya dan sering mendengarkan lagu-lagunya yang sederhana, namun sepengakuan saya hal itu amat sangat luar biasa. Sedangkal pengetahuan saya, mengetahui nama “Pidi Baiq” ketika mengikuti diklat di sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bergerak di bidang literasi.

 

Kelompok saya menggunakan dress code abu-abu dengan nama kelompok “Pidi Baiq”. Ketika memperoleh dan tahu tentang nama kelompok “Pidi Baiq” pada waktu itu, merupakan hal yang biasa saja. Namun seiring berjalannya waktu, saya sangat suka mendengarkan lagu-lagunya. Dan juga film yang diadopsi dari karyanya tentang Dilan dan Milea.

 

Ketika berbicara tentang Dilan dan Milea, bukan hanya sekedar romansa. Melainkan juga dinamika sosial dan budaya yang ada di film itu mempengaruhi sosok Dilan yang dianggap nakal, namun tidak bodoh. Kenakalan Dilan merupakan kenakalan yang cerdik, Dilan merupakan orang yang suka bergaul, baca buku, mendengarkan musik, dan sebagainya. Mungkin dari kegemarannya baca buku dan mendengarkan musik, melahirkan jiwa-jiwa rebel dan merdeka.

 

Selain Dilan dan Milea, saya mengetahui dan telah melihat karya Kang Pidi yang amat sangat keren yakni Koboy Kampus. Ketika melihat film koboy kampus yang diperankan oleh Jeje (Jason Ranti), dan kawan-kawan, hal itu bak cermin bagi diri saya. Dari film itu, saya belajar tentang sains dan agama. Mereka begitu bebas dan merdeka, juga enjoy dalam melakukan segala sesuatu. Hingga mendirikan negara indi dengan persetujuan bersama.  

 

Mereka merupakan akademisi di sebuah kampus ternama di Indonesia yang berada di Kota Kembang. Dimana ketika mereka kuliah, berada di bawah rezim otoriter. Mereka merupakan anak muda yang nakal, namun tidak bodoh. Dari mereka, saya belajar dalam hal sains dapat berkarya sebebas-bebasnya, namun ketika karya lahir barulah diberi batasan-batasan seperti norma, agama, dan lain sebagainya.

 

Dalam film itu, menunjukkan hal yang bisa mempengaruhi karya ialah pembatasan terhadap norma dan agama yang ada. Artinya, kita berkarya terlebih dahulu, baru dibatasi. Jangan dibatasi dulu, kemudian baru berkarya.

 

Hal tersebut juga selaras dengan apa yang telah diucapkan dan dilakukan Surayah. Dalam beberapa forum yang pernah saya lihat via You Tube, Surayah memberikan pesan agar jangan takut untuk berkarya. Ketika mendengar segala sesuatu yang keluar dari mulut Surayah, bak suntikan semangat untuk terus dan jangan takut dalam hal berkarya. Selain itu juga, sebagai pengingat bersama. Saya pernah tahu quote dari PB, tentang nasionalisme tidak akan lahir/ada tanpa nasi.

 

Hal itu benar, baik dari segi harfiah, maupun pesan filosofis yang tersirat dalam kalimat itu. Nasionalisme tanpa nasi, jadinya onalisme. Mengingat negara kita ‘katanya’ sebagai negara agraris, dimana penggusuran lahan marak terjadi, kalimat itu amat sangat penting untuk dibumikan dan disebarluaskan. Karena, apabila gembar-gembor nasionalisme saja, namun produsen nasi (petani) dikriminalisasi dan lahannya disulap menjadi pabrik kita diam saja, bagaimana nasib ke depan bangsa ini? Apakah kita akan (senantiasa) makan hasil produksi pabrik?

 

Selain itu, saya juga belajar dari Surayah dalam hal mengemas ‘kritik’ dengan karya. Entah itu dalam bentuk tulisan, lagu, dan lain sebagainya. Terimakasih Tuhan, telah menggiringku untuk mengetahui Surayah. Hingga sekarang, beberapa lagunya yang sering saya dengarkan dengan seksama dalam tempo yang agak lama seperti: Bunyi Sunyi, Lalu, Librani, Gundah Gulana Pacar Aktivis, Koboy Kampus, Sudah Jangan ke Jatinangor, Mudah-Mudahan, Kucing Adalah Anjingku, Dan Bandung, Lagu Untukmu, Secangkir Kopi, dan lain-lain.

 

Sajak karya Surayah juga terdapat di beberapa sudut Kota Kembang. Ucap syukur, beberapa waktu yang lalu saya bisa menginjakkan kaki di Kota Kembang, namun belum sempat ngansu kaweruh di markas The Panas Dalam. Semoga di lain waktu, alfaqir bisa kembali menginjakkan kaki di Kota Kembang dan ngansu kaweruh di markas The Panas Dalam.