Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hujan dan Perempuan

 

Sebuah kisah yang dialami Tole tentang hujan dan perempuan.




 

Malam itu, Tole berdiam diri di sebuh masjid yang berada di pusat kota. Tole tidak sendiri. Di tempat lain (area masjid), ada beberapa orang yang sedang berteduh karena hujan di malam hari yang mengguyur kabupaten dengan julukan konon sebagai lumbung pangan dan energi.

 

Ada juga dua orang perempuan melintas di depan Tole. Mereka saling bicara. Juga ada seorang laki-laki yang sedang berteduh, ia menikmati hujan di malam hari yang dingin nan sunyi bersama gawainya.

 

Musim hujan telah tiba, di daerah Tole biasanya beberapa jalan di kota ketika hujan turun membasahi bumi bak kolam renang. Musim hujan kali ini, bersamaan dengan datangnya beberapa undangan pernikahan, muncul di bawah pintu rumah Tole yang kecil dan tak bernomor. Ada kawan yang telah melangsungkan pernikahan, dan juga ada yang akan melangsungkan pernikahan beberapa hari ke depan. 

 

Mengingat Tole memiliki jiwa rebel dan merdeka, pernikahan merupakan suatu hal yang biasa. Dan tak lupa ia mengucapkan selamat kepada kawan-kawannya yang telah menyempurnakan separuh agama.

 

Di masjid yang dekat dengan sebuah SMA, Tole barusan menunaikan shlat isya secara indi. Tole menunggu panggilan dari ibu untuk menjemputnya. Karena ibu sedang ikut masak bersama kawan-kawannya di desa sebrang.

 

Hingga hujan telah lama mengguyur jalanan kota, mendinginkan kemuraman bangunan-bangunan kuno, dan malam semakin larut, panggilan dari ibu belum juga nampak di gawai. Hujan pun semakin deras mengguyur kota. Terkadang Tole begitu pusing, ketika tidak melakukan apa-apa. Maka dari itu, ia memutuskan untuk menulis di bawah hujan tentang perempuan sembari menunnggu panggilan dari ibu.

 

Sebelum ke masjid, Tole barusan mencetak kartu hasil studi dari PTN tempat Tole belajar. Hasilnya pun diluar espektasi ‘cum laude’. Tole berniat memberikan kartu hasil studi tersebut kepada ibunya sebagai obat penawar lelah. Hujan semakin deras, hawa dingin menyerang. Beruntung Tole memakai jaket aktivis dakwah kampus yang ia sulap menjadi jaket bernafaskan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).


Tole menulis disaksikan lampu masjid, lampu jalanan kota, dan aliran air yang tenang memasuki area depan masjid tanpa permisi. Malam itu, selain mencetak KHS di tempat percetakan, Tole juga mencetak sebuah foto yang berisi salam dari Negeri Van Oranje.

 

Tole amat sangat bahagia. Karena ia bisa ikut kelas yang digawangi oleh orang yang menuliskan salam dari Negeri Van Oranje itu. Perempuan yang menuliskan salam untuk Tole merupakan sesosok ibu yang hebat. Sedang berjuang menyelesaikan studi doktoral di Universiteit Leiden dan mendalami kajian tentang gender, perempuan, dan feminisme. 

 

Selain itu, ketika berteduh di masjid,  Tole juga barusan menerima telefon dari kawannya yang berada di Kota Santri. Gubugnya berada di dekat Kali Brantas. Ia menerima panggilan dengan senang hati. Sebelum itu, beberapa hari yang lalu ia juga telah melakukan video call atau silaturahim virtual dengan beberapa kawannya.

 

Ada Jeje, ia sedang ngansu kaweruh di pesantren agroekologi yang berada di Kota Hujan. Dindin, ia merupakan anak seorang  petinggi di sebuah kasepuhan. Dan Bibib, sedang merampungkan masa studinya tentang al-qur’an dan tafsir di sebuah PTN yang berada di Ibu Kota.

 

Sembari menunggu panggilan dari ibu, Tole mencoba mengabadikan apa pun yang ia lihat dalam wujud tulisan. Ketika hujan tiba, kenangan tentang seorang perempuan mengedor-gedor fikiran. Pasalnya, Tole memiliki kenangan dengan beberapa perempuan yang telah menghangatkan jok belakang. Namun tidak pernah ada upaya serius, begitulah anak muda, hanya suka bermain.

Namun kenangan yang masih membekas dengan seorang perempuan, ketika Tole membangun kedekatan dengan seorang aktivis di sebuah ikatan. Ia pernah belajar dan berjuang secara bersama-sama. Dan hujan kala itu, yang mengguyur jalanan kota, lampu kota, menara masjid, dan lain sebagainya menjadi saksi bisu kedekatan dua insan itu.

 

Pertemuan salah satu di antara anak Adam dan  Hawa tersebut, terjadi pada sebuah ikatan. Nampaknya, perempuan itu menaruh hati pada Tole yang memiliki pemikiran absurd. Ia sering memberikan kode-kode, jauh di mata dekat di hati misalnya. Bagi Tole, itu hanya sebatas memberi rasa senang atau menyebabkan hati yang berbunga-bunga dalam tempo tidak terlau lama.

 

Melalui pesan singkat lewat gawai, Tole dan perempuan itu saling belajar. Adakalanya, Tole belajar dengan perempuan itu. Lain sisi, perempuan yang mungkin menekuni dunia psikologi itu, menjelma sebagai pembaca arah mata Tole yang handal. 

 

Hingga sekarang, hubungan antara Tole dengan perempuan itu amat sangat absurd. Hal tersebut mengingatkan Tole pada peribahasa Arab, “permulaan cinta itu adalah menyebut, sesudahnya adalah memikirkan.” Ya, Tole tidak pernah mendeklarasikan cinta pada perempuan yang terkenang dengan hujan itu. Mereka hanya sesaat menikmati hujan, dan jalanan kota yang basah, lampu kota, dan lantai musola hanya menjadi saksi bisu kebersamaan mereka.

 

Mereka hanya mengagumi dalam diam. Hidup dalam dunia yang berbeda. Adakalanya, berbicara mengenai puisi, adakalanya berbicara tentang organisasi, namun tidak pernah sesekali ada deklarasi cinta. Hubungan mereka memiliki kekhasan, begitupun dengan hubungan pasangan yang lain seperti Jean Paul Sartre dan Simone de Bauvoir, Laila dan Majnun, Romeo dan Juliet, dan sebagainya.   

 

Hubungan antara Tole dengan perempuan ‘hujan’ itu hanya sebatas kawan (untuk sekarang ini). Tole amat sangat menghargai perempuan. Hal itu juga terejawantahkan dalam perbuatan. Karena, bagi Tole, menyakiti perempuan sama saja menyakiti seorang yang telah melahirkannya, siapa lagi kalau bukan ibunya.

 

Hujan di malam itu, mampu membawa Tole flash back dengan perempuan yang beberapa kali menjadi bunga tidur, abadi dalam catatan harian, dan puisi. Rumus fisika dari jarak, yang merupakan hasil kali dari kecepatan dan waktu tidak berlaku. Dan mungkin, perempuan itu telah menemukan sosok anak turun Adam yang mampu membuatnya lebih bahagia, dan penuh dengan kejelasan dan mungkin juga memiliki pola fikir positivis yang dominan serta kurang berani mengkritisi segala sesuatu. 

 

Malam semakin larut, lampu masjid tempat Tole berteduh masih menyala dengan terang. Dua orang perempuan yang datang tadi, sudah tidak ada. Begitupun dengan seorang laki-laki yang berdiam diri dengan gawainya telah angkat kaki juga. Tinggal Tole sendiri di masjid kota itu.

 

Bunyi hujan rintik-rintik dikala sunyi, membuat suara kendaraan yang lain terdengar nyaring. Lalu-lalang kendaraan masih nampak di jalanan kota malam itu. Setelah Tole menulis beberapa paragraf, kemudian ia menengok gawai yang ia beli dengan uang pasca khitan. Belum juga ada telefon dari ibu. Tole berdiri, menengok situasi dan kondisi luar.

 

Ketika hujan agak reda, kemudian Tole memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Dalam  perjalanan pulang, Tole melintasi beberapa jalan yang pernah ia teliti dari segi historis. Dan tentunya, jalanan tersebut merupakan jalan yang pernah ia lalui dengan perempuan yang telah  sudi dan nekat menghitamkan aspal jalanan bersama Tole dikala hujan menerjang.

 

Tole beranggapan, perempuan itu ialah sosok yang baik, dan berbeda dari kebanyakan perempuan lain. Ia pernah menjadi khodam di sebuah pesantren. Sedangkan Tole, hanya debu jalanan, mengais ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan wawasan dari jalanan. Hal itu juga nampak dari penampilan Tole yang enggan bersarung ketika keluar rumah, dan juga rambut panjang pertanda rebel dan radikal melambai-lambai, seakan-akan menyapa siapa pun yang melihat rambutnya. 

 

Tak lupa, ketika melintasi ruas jalanan kota, Tole mengabadikan momen dengan kamera. Di daerah asal Tole, ketika hujan tiba, genangan air muncul dengan sendirinya. Tak jarang, ada beberapa mesin kendaraan motor maupun mobil yang mati sendiri karena debit air yang tinggi.

 

Setelah mengabadikan foto, Tole lanjut menghitamkan aspal jalanan. Sampai di rumah, belum juga ada kabar dari perempuan yang telah melahirkan Tole.

 

Rasa cemas, gundah-gulana, dan lain sebagainya bercampur menjadi satu. Selang beberapa menit kemudian, ada panggilan. Tole bergegas menjemput ibunya di desa sebrang di bawah guyuran hujan yang mulai mereda.

 

Itulah kisah Tole tentang perempuan dan hujan. Berbagai macam perempuan telah Tole temukan, tidak ada yang lebih spesial kecuali sosok perempuan yang telah berjuang melahirkannya, walau hujan menerjang, tidak ada yang bisa mengalahkan takdir Tuhan.  Kemudian Tole berupaya melupakan perempuan lain dan berusaha lebih berbakti kepada sosok perempuan yang telah melahirkannya. Sebagai wujud bakti yang kecil dan tak sebanding dengan apa yang telah diberikan ibu, malam itu yang menjadi penghangat jok belakang ialah perempuan yang telah melahirkan Tole. Dia menjemput ibu di desa sebrang, dan menikmati perjalanan dengan bergam cerita yang keluar dari mulut ibu.