Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Suatu Hari Bersama Bapak Ketika Membahas Mbah Dur


Siang itu di surga pojok kota terjadi dialog antara aku dan bapak. Berawal dari sebuah kasus yang menyangkut sebuah instansi, kemudian menjalar kepada pembicaraan tentang Mbah Dur atau yang akrab disapa Gus Dur.  




 


Di ruang tamu, bapak sedang duduk-duduk santai mengoperasikan gawainya. Kemudian aku mencoba bertanya kepada bapak, “Pak, apakah sudah mendengar kabar tentang kasus terbaru yang menyangkut sebuah instansi yang berseragam cokelat?”

 

Bapak menjawab, “Kasus opo, Le?”

 

“Kasus yang seorang anak tidak jadi tes ke pusat gara-gara positif corona.”

 

“Durung, Le. Piye iku?”

 

Kemudian, saya menjawab, “Begini, Pak. Beberapa waktu yang lalu sempat ramai di twitter tentang seorang anak yang tidak jadi tes ke pusat gara-gara positif corona, dan status positifnya penuh dengan tanda tanya. Anaknya meraih nilai yang tinggi ketika tes, ndilalah pas ape berangkat tes pusat kok diparani petugas, jare postif covid-19”.   

 

“Oalah.”

 

Pembicaraan itu lah yang memantik obrolan tentang Mbah Dur. Saya belum tanya kepada bapak, mengapa ia lebih sering menyebut Mbah Dur, dari pada Gus Dur. Namun hal itu tidak perlu dipermasalahkan. Kemudian bapak bercerita tentang masa-masa pemerintahan Mbah Dur khususnya mengenai implementasi kebijakan di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi.

 

Dari apa yang telah dibicarakan bapak, saya bisa menangkap kalau pemerintahan Mbah Dur walau singkat namun beberapa perubahan terjadi. Perubahan yang tidak hanya sekadar perubahan, melainkan juga bernafaskan kemanusiaan. Nampaknya hal itu juga selaras dengan kalimat dari Mbah Dur yang sering dibuat quote, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.”  

 

Di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi, di bawah pemerintahan Mbah Dur terjadi beberapa perubahan. Seperti yang diketahui oleh khalayak, tentang pengakuan eksistensi kawan-kawan Tionghoa. Dari situ, juga muncul beberapa organisasi yang ada hubungannya dengan agama; Islam, Kristien, Hindu, Budha, Katolik, dan Kong Hu Chu.

 

Selain itu, bapak juga bercerita mengenai pencabutan stigma partai dengan logo palu & arit khususnya di daerah dimana bapak lahir. Secara tidak langsung, saya menangkap kalau bapak memberikan apresiasi kepada pemerintahan Mbah Dur. Namun nampaknya bapak agak kesulitan untuk berbicara mengenai hal itu. Ia lebih suka menjelaskannya melalui kalimat yang panjang berdasarkan segala sesuatu yang pernah ia dengar dan alami. Kemudian saya merangkum pembicaraan tentang apa yang diutarakan oleh bapak.

 

Bapak memberi tahu kalau, pemerintahan Mbah Dur itu memberi angin segar bagi semua elemen. Seperti pada kawan bapak, yang pernah mengikuti tes aparat namun harus digugurkan karena keluarganya ada hubungannya dengan partai yang dinahkodai Dipo Nusantara A. Di pemerintahan Mbah Dur, stigma itu dicabut.  

 

Hal itu tidak bisa lepas dari pengaruh pemerintahan sebelumnya yang dinahkodai oleh the smilling general. Kawan bapak, pada tes pertama aparat berhasil lolos, namun ada main pihak aparat desa di dalamnya. Dengan tuduhan haluan merah, kawan bapak gugur begitu saja. Betapa lucunya negeri ini.

 

Kemudian kawan bapak mencoba tes kembali dan akhirnya sekarang menjadi aparat keamanan negara. Itulah sepercik ikhtisar dialog antara aku dan bapak tentang Mbah Dur dan segala sesuatu yang ada kaitan dengan itu. Sebelum obrolan berakhir, saya juga bertanya kepa bapak tentang derah yang pernah menjadi basis partai merah. Namun ia belum mengetahui. Sedangkal pengetahuan saya, hanya tahu tentang tanah yang bisa menangis di sekitar pusat kota.