Pak Sapardi dan Bagaimana Aku Mengenalnya
Beberapa hari yang lalu Indonesia baru saja kehilangan sosok sastrawan besar nan bersahaja cum sederhana. Walau ia telah tiada, namun karyanya akan senantiasa abadi sepanjang masa.
Ketika jalan-jalan di beberapa toko buku yang ada di Kecamatan Bojonegoro, mataku selalu melihat nama Sapardi Djoko Damono (SDD). Kemudian terbesit dalam fikiran untuk mencari tahu lebih dalam tentang sosok SDD.
Pretelan sajak karya SDD, sering menghiasi laman media cetak maupun daring. Aku lebih dalam mengenal Pak Sapardi, karena seorang perempuan telah sudi meminjamiku buku karya Pak Sapardi yang hingga sekarang belum saya kembalikan. Perempuan tersebut juga mewarnai dinamika literasiku, perempuan yang lebih tua dari saya itu, menjadi saksi hidup bagaimana saya melipat jarak dari surga pojok kota menuju sekitar rumahnya ketika dini hari dengan mengayuh sepeda.
Juga dengan kenekatan, nama perempuan itu tercatat sebagai perempuan yang pernah menghangatkan jok belakang motorku. Dengan kenekatan dan bermodal niat, aku melipat jarak dari Bumi Angling Dharma menuju Bumi Wali untuk menjemputnya. Kehangatan jok motor, berangsur-angsur hilang karena disapu hujan. Bahkan hingga sekarang, yang abadi adalah kenangan.
Perempuan itu meminjamiku buku berjudul Yang Fana Adalah Waktu. Saya berusaha untuk membacanya dengan seksama. Saya begitu menikmati karya Pak Sapardi, kisah Pingkan dan Sarwono seakan-akan membawaku larut ke dalam kisah itu. Kemudian, saya lebih jatuh cinta dengan karya Pak Sapardi dengan melihat film yang diadaptasi dari novel berjudul Hujan Bulan Juni dengan judul yang sama.
Selain itu saya mencoba untuk lebih dekat dengan Pak Sapardi dan karyanya lewat musikalisasi puisi dari Ari Reda dan Usman Arrumy. Juga melalui lagu karya Jason Ranti yang ada kaitannya dengan Eyang Sapardi. Dalam video yang diunggah oleh Departemen Penerangan Jason Ranti, saya menyaksikan bagaimana Jeje berinteraksi dengan Pak Sapardi di rumahnya yang berada di perumahan kompleks dosen UI.
Dari video Jason Ranti (Jeje) itu, menimbulkan keinginan dalam hati saya untuk silaturahim ke Pak Sapardi. Hal itu sudah masuk dalam keinginan, dan akan saya wujudkan ketika berada di Ibu Kota. Selain menemui kawan, saya juga akan berupaya mewujudkan keinginan untuk berkunjung ke rumah Pak Sapardi dan bertemu secara langsung dengan sosok di balik Hujan Bulan Juni itu.
Namun beberapa hari yang lalu ketika bangun dari tidur di sore hari, saya mengunjungi kanal yang selalu mengabarkan degup kebahagiaan yakni Jurnaba. Di kanal yang mengkombinasikan warna hijau dan putih itu terdapat dua tulisan tentang Pak Sapardi. Setelah membaca dua artikel teratas di Jurnaba, prasangka saya mengarah pada peristiwa hujan air mata. Dan benar, sosok di balik Hujan Bulan Juni itu menuju keabadian bersama karyanya.
Kemudian memastikan kabar yang beredar dengan mengunjungi beberapa kanal media lain. Ternyata benar, banyak berita dan ucapan bela sungkawa di hari wafatnya Pak Sapardi. Tak lupa saya mengirim al-fatihah untuk sosok dibalik Yang Fana Adalah Waktu itu, namun sesungguhnya kita abadi.
Ketika Mei menuju Juni di tahun ini, saya sudah berancang-ancang jauh hari untuk menulis artikel tentang Hujan Bulan Juni. Ucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena di awal bulan Juni, saya bisa menghidupkan bulan dimana saya lahir di bumi. Dengan ilustrasi gambar Pak Sapardi dan aksara arab bertuliskan Sapardi Djoko Damono. Kali ini, nama itu telah terukir indah di batu nisan. Semoga di lain waktu, saya bisa berziarah ke makamnya.
Dan tak lupa saya ingin mengucapkan matur sembah nuwun ke Pak Sapardi, karena telah menghidupkan bulan Juni dan mengisi hari-hari dengan sajaknya yang senantiasa abadi walau zaman silih berganti.
Dini hari, 23 Juli 2020