Antara Aku, Dalangoro, Pohagung, dan Campurejo
Sepercik kisah tentangku dan kampung halaman. Sejauh dan setinggi apapun engkau terbang, di kampung halamanlah sebaik-baik tempat untuk mendarat. Di kampung halaman tidak hanya mengandung memorabila, melainkan juga terdapat ibrah di dalamnya.
Jika ditanya tempat yang bersahabat untuk menulis, saya akan menjawab di balik kaca jendela sebuah gubuk tak bernomor yang berada di Gang Dalangoro. Warung kopi yang berada di Pohagung hanya sebagai tempat lewatan dan pengindah tampilan peta digital yang dikeluarkan Mbah Google. Sedangkan untuk mencari inspirasi dan informasi, sesekali mendamaikan diri di beberapa tempat yang ada di Campurejo.
Dalam derasnya arus informasi, saya sering memahaminya dari balik kaca jendela yang berada di sebuah gubuk yang berdiri di Gang Dalangoro. Di gubug yang memiliki jendela di bagian kamar depan, menjelma sebagai tempat untuk berkunjug ke berbagai negara secara murah, tanpa harus menginjakkan kaki, dan tanpa membeli tiket pesawat. Mengasyikan bukan? Menyaksikan Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Surabaya, dan daerah lain dalam konteks tempo dulu dari laman Universiteit Leiden, Belanda. Menyaksikan Istanbul dari karya Orhan Pamuk, Wahyu Syafi’ul, dan lain-lain.
Kaca jendela ini bentuknya mirip dengan jendela yang berada di rumah yang lain. Namun tetap ada bedanya. Perbedaan itu mungkin terletak siapa yang membuat, kapan jendela dibuat, dan bagaimana desain jendela yang diinginkan oleh penghuni rumah. Kaca jendela menjadi saksi bisu, bagaimana saya menarikan jari-jari. Entah itu ketika pagi, siang, sore, malam, dan bahkan hingga dini hari.
Gang Dalangoro menjadi satuan kecil setelah keluarga. Banyak ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang saya peroleh dari segala sesuatu yang ada di Gang Dalangoro. Hingga muncul cita-cita mendirikan sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (bidang sosial dan budaya) dengan nama Dalangoro Institute.
Banyak cerita yang berkembang tentang Dalangoro. Cerita yang terdengar oleh telingaku ketika masih anak-anak adalah cerita kematian seorang dalang di oro-oro atau bengawan. Bisa dikatakan secara harfiah, dalangoro berasal dari kata dalang dan oro-oro. Itu merupakan cerita turun-temurun, dan generasi kami mengamini. Gang Dalangoro, bukan Jalan Dalangoro. Di peta digital, tertera Jalan Dalangoro. Namun sebenarnya ialah Gang Dalangoro yang berada di Dukuh Pohagung, Desa Campurejo, Bojonegoro.
Pernah di suatu waktu. Saya membaca buku Bojonegoro Bercerita karya Pak Satria. Dalam buku itu terdapat prasasti yang bertuliskan i dalangara. Masih menjadi misteri, apa sebenarnya arti dan dimana lokasi yang dimaksud dari prasasti itu. Dengan toponomi, bisa mengetahui arti nama di balik suatu tempat.
Kemudian Pohagung merupakan sebuah dukuh. Secara harfiah, Pohagung berasal dari kata kepoh dan agung. Kepoh merupakan tanaman besar yang pernah dikramatkan. Kemudian disekitar pohon atau wit kepoh terdapat aliran air. Aliran air yang dipercantik dengan pohon-pohon kepoh yang besar dan rindang terkenal dengan keagungannya. Maka dari itu, wilayah (dukuh) tempat aku tumbuh dan berkembang bernama Pohagung.
Gang Dalangoro dan Dukuh Pohagung berada di Desa Campurejo. Mengutip dari laman desa, dalam tinjauan historis, kata Campurejo berasal dari kata campur dan rejo. Konon di desa ini, hidup seorang penggarap lahan yang miskin. Kemudian datanglah beberapa orang yang berasal dari wilayah lain dan bermukim. Orang-orang yang datang dan mukim beranak pinak kemudian membaur (campur) dan lahirlah keramaian (rejo).
Gang Dalangoro merupakan salah satu di antara beberapa land mark yang ada di Dukuh Pohagung dan Desa Campurejo. Sebuah gapura hitam berdiri dengan gagah di atas tanah yang berada di Dukuh Pohagung. Kemudian dekat gapura itu terdapat pos kampling. Entah tahun berapa, saya pernah menyaksikan sebuah tikus raksasa berdiri di atas atap pos kampling yang berada di dekat Gang Dalangoro. Hal itu terjadi sepanjang bulan kemerdekaan.
Ketika bulan Agustus tiba, jika kalian melintasi Gang Dalangoro terkadang akan menyaksikan bendera merah putih, burung garuda Pancasila, gemerlap lampu kecil yang warna-warni, lomba agustusan yang bisa diikuti oleh berbagai usia, dan pernah suatu kali ada yang membuat patung dari bilah bambu berwujud Anoman dan tikus hitam dengan mata berwarna merah.
Aku benar-benar mengingat momen itu. Aku menyaksikan bersama ibu sembari makan bakso yang berada di depan gapura. Dari warung bakso, aku melihat mata tikus yang menyala dengan warna merah. Begitu kentara, dan badan patung tikus yang berwarna hitam, lebur bersama gelapnya malam.
Nama lain dari Gang Dalangoro ialah Gapuro Ireng atau Gapuro Cemeng (warna hitam dalam bahasa Jawa). Orang-orang yang berada di sekitar Gang Dalangoro, terkadang lebih suka menyebut Gapuro Ireng. Ketika masuk Gang Dalangoro, beragam rasa timbul. Rasa bahagia, mungkin akan timbul ketika telah lama merantau kemudian kembali ke kampung halaman yang ada di wilayah Gang Dalangoro. Rasa sedih, timbul ketika harus keluar dari gapura untuk berkelana. Kesedihan akan terbayar dengan beragam ilmu, pengetahuan, dan pengalaman yang diperoleh dari luar kemudian dibawa ke dalam dalam rangka membangun peradaban.
Saban gapura memiliki keunikan masing-masing. Bisa jadi sebagai land mark suatu dukuh maupun desa. Namun apapun bentuk dan filosofi gapura, ketika ditinjau dari segi kata memiliki arti ampunan. Keberadaan gapura tidak bisa lepas dari faktor historis. Ada beberapa sumber yang menyatakan kalau gapura merupakan turunan dari kata dalam bahasa Arab gofaro, sama dengan kata sejarah juga berasal dari bahasa Arab yakni syajarotun yang berarti pohon.
Ketika berada di Gang Dalangoro, kalian akan menemukan sebuah mushola yang menjadi saksi bisu dari satu generasi ke generasi lain dalam rangka ibadah maupun kegiatan sosial dan budaya. Mushola itu bernama Mushola Al-Huda. Ketika aku kecil, pernah ngansu kaweruh di langgar itu. Sekarang masih gagah berdiri dan semakin indah dengan tampilannya yang baru.
Kegiatan keagaaman yang digelar di mushola itu sangat beragam. Seperti shalat, pengajian rutin, takbiran, megengan, kupatan, tadarusan, buka bersama, dan menyembelih hewan qurban di sekitar halaman mushola.
Pernah juga dalam suatu periode kepengurusan yang ada di mushola, menyelenggarakan kuliah subuh di akhir pekan. Selain itu juga ada agenda ziarah ke makam wali songo yang tersebar di Pulau Jawa.
Morfologi jalan yang ada di Gang Dalangoro ialah lurus dan berpaving. Perlu diketahui bahwa aspek morfologi jalan juga ada kaitannya dengan unsur politis. Paving yang dalam gerakan menjadi pavingisasi, merupakan program di era Pemerintahan KY. Sementara, di era pemerintahan BA ialah jalan cor. Kemudian di sisi jalan terdapat sebuah saluran air yang sumbernya dari Sungai Bengawan Solo. Ketika kemarau menyapa, saluran air itu saya gunakan bermain petak umpet bersama kawan, ketika masa anak-anak. Dan pernah di suatu momen, kedatangan truk besar dengan tangki berwarna kuning berisi air dinantikan warga. Fenomena tersebut biasanya terjadi di musim kemarau yang cukup panjang.
Di Gang Dalangoro ada beberapa lorong. Semua lorong yang ada di Gang Dalangoro tak bernama. Ada lorong yang berisi rumah warga, menghubungkan dengan saluran air yang dekat dengan pohon bambu yang sering disebut penduduk sebagai greng, lorong yang menjadi penghubung dengan lorong yang lain, dan beberapa objek lain.
Lorong yang bisa menyebabkan bulu kuduk merinding adalah sebuah lorong yang ada tumbuhan maribang. Lorong itu terkenal dengan lorong yang seram. Kawan-kawan (termasuk saya) ketika kecil, sering lari tebirit-birit ketika melintasi lorong itu. Ketika mengayuh sepeda, pasti tidak bisa bersepeda dengan tenang. Hal itu tergantung bagaimana kita menyikapi. Namun sekarang, lorong itu biasa-biasa saja. Keseraman dan kengerian lorong itu di malam hari terpengaruh dari cerita yang didapat ketika masa anak-anak, pernah memperoleh cerita yang berkembang seperti, adanya beberapa jenis makhluk halus yang menampakkan diri dan cerita yang tak asing seperti penculik anak yang mencongkel mata.
Di Gang Dalangoro terdapat tanggul yang akan membawamu ke bantaran Sungai Bengawan Solo. Bisa dikatakan jalan yang menanjak itu merupakan batas dari Gang Dalangoro. Terdapat sebuah gardu dan di dekatnya terdapat lampu yang bersinar cukup terang di malam hari. Beberapa objek lain yang ada di Gang Dalangoro ialah warung kopi, bimbingan belajar, dan lain sebagainya.
Di balik kaca jendela yang berada di sebuah gubug kecil tak bernomor di Gang Dalangoro, hingga sekarang senantiasa menyumbang khazanah ide yang tak akan habis. Jika pagi hari, cuitan burung senantiasa menemani. Siang hari terkadang Sang Surya menembus kaca jendela. Ketika sore hari menyapa, terdapat anak-anak yang sedang bermain di sebuah tanah lapang yang senantiasa hidup dari generasi ke generasi.
Dan ketika azan maghrib berkumandang, menjadi pertanda tibanya gelap malam dan kesunyian akan kalian dapatkan. Puncak kesunyian hingga menjelang kemunculan Sang Fajar. Dalam kesunyian, jari-jemari akan terus bergerak. Bergerak melahirkan kebahagiaan, terkadang bergerak melahirkan penyesalan. Di malam hingga dini hari juga terdengar suara orang yang melakukan interaksi sosial, sayup-sayup suara gamelan dan gema orang yang muntah, dan juga suara burung gagak yang kata beberapa orang tua pertanda adanya misteri ilahi berupa kematian.
Saya lebih suka memberi makan ayam dari balik kaca jendela. Namun apabila ada ayam masuk ke rumah, tak lupa saya mendekatinya dan mencoba untuk berinteraksi dengannya. Begitupun bagi semua orang, jika ada yang bertanya akan saya usahakan untuk memberi jawaban. Saya lebih suka mengamati gerak-gerik saban orang di balik kaca jendela. Hal itu terlihat dengan sendirinya, tentu bukan dalam waktu yang lama. Mungkin hanya sekilas untuk mengatasi kejumudan berfirkir.
Sesekali keluar dan mengucap syukur pada alam raya atas nikmat kehidupan yang diberikan oleh Tuhan. Bagiku, Dalangoro, Pohagung, dan Campurejo merupakan satu kesatuan yang tak selamanya indah dan tak terpisahkan. Tak selamanya indah, karena terdapat sisi kekurang indahan. Hal itulah menjadi penghidup suasana. Tak terpisahkan, merupakan satu kesatuan wilayah yang berada di daerah yang konon sebagai lumbung pangan dan energi.
Dari satu generasi ke generasi tersimpan kisah, kepopuleran tim sepak bola kampung (Liga Kangkung) yang mayoritas punggawanya tumbuh dan berkembang di Gang Dalangoro, suara gamelan dan oklik yang tidak hanya berada di bulan Ramadhan, suara penjual tempe, lempengan kayu yang dipukul penjual bakwan legendaris, suara gemerincing pertanda keberadaan penjual satai, dan Gang Dalangoro yang berada di Dukuh Pohagung, Desa Campurejo menjadi saksi bisu langkah kaki orang-orang dari berbagai penjuru bumi.
22 Juli 2020