Mengarungi Samudera Kehidupan Berbekal dari Madrasah Pertama
Serpihan kisah madrasah pertama yang sederhana dan semoga penuh makna.
Seni seorang dalam mengarungi samudera kehidupan tidak bisa lepas dari yang namanya madrasah pertama. Atau dalam istilah sosiologi kita kenal agen sosialisasi primer. Seni dalam menjalani kehidupan yang diperoleh dari didikan keluarga inilah yang akan memberi pengaruh pada kehidupan saban orang. Ada peribahasa, “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Peribahasa tersebut memberi gambaran tentang sifat anak tidak jauh dari bapak dan ibunya. Entah disadari atau tidak, setiap orang menjadi duta dari keluarga masing-masing ketika berada di lingkungan masyarakat. Ketika kita berbuat baik, tentu nama bapak dan ibu akan harum dan mereka bangga.
Apa yang terngiang dalam fikiranmu ketika mendengar kata keluarga? Atau dalam bahasa Inggris disebut family. Saban orang memiliki kisah tersendiri tentang tempat yang seyogianya menjadi madrasah pertama. Namun tidak selalu manis, terkadang rasa pahit muncul dari sejarah keluarga. Dalam hitam dan putih kehidupan, pasti terkandung ibrah di dalamnya.
Kali ini saya akan mencoba bercerita tentang madrasah pertama. Inilah kisah kita, semoga menghibur pembaca dimanapun engkau berada.
Bapak dan ibu berasal dari dua desa yang berbeda. Namun desanya masih berada dalam satu kecamatan. Saya sendiri kurang berani, kalau bertanya tentang kisah cinta mereka. Bagiamana mereka bisa bertemu. Namun sesekali, masa muda bapak dan ibu berkisah dengan sendirinya. Misalnya ketika duduk-duduk di depan teras rumah, ruang tamu, atau ketika menonton televisi. Mengingat daya ingat saya tidak terlalu tajam, maka hanya sepercik kisah tentang pertemuan anak Adam dan Hawa tersebut yang mampu terekam dalam ingatan.
Bersyukur terlahir di keluarga yang penuh dengan kasih dan sayang. Namun tak jarang konflik juga menyertai sebagaimana kisah keluarga yang lain. Saling pengertian ialah kunci. Beberapa nilai-nilai yang diterapkan oleh bapak salah satu di antaranya yang saya ingat misalnya tentang keberanian. Berani berbicara di forum, berani bertanya, menjawab pertanyaan guru, rajin, disiplin, dan lain-lain.
Secara tidak langsung, bapak telah membantu membuka jendela dunia. Terkhusus tentang agama, sosial, dan budaya. Sesekali bapak biasanya menyebut “gurunya” atau “kiai” yang telah memberi ilmu kepadanya dengan cerita tak terduga. Misalnya ketika sedang menunggu antrian nasi goreng, ketika sedang berkendara, terkadang ia bercerita. Apalagi ketika berkendara ketika hujan menyapa. Dari dalam mantel, saya merangkul erat bapak sembari mendengarkan cerita yang keluar dari mulutnya. Sesekali saya juga bertanya, sudah sampai mana?
Saya mendengarkan dengan seksama, ucapan yang keluar dari mulut kepala keluarga. Sedari kecil, saya tidak pernah didongengi menjelang tidur. Rutinitas yang paling saya ingat, ialah mengaji sebelum tidur. Setelah pulang dari langgar/mushola lepas menunaikan shalat isya’, bapak meminta saya untuk membaca kembali buku iqro’ yang saya pelajari bersama guru ngaji.
Selain itu bapak juga mengenalkan kepada saya beberapa nama-nama tokoh dunia. Seperti Ban Ki Moon, Kofi Annan, dan lain-lain. Dalam hal olahraga bahkan hingga sekarang, saya tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan bapak. Padahal, tes skolastik yang pernah saya ikuti ketika duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs) memberi rekomendasi padaku menjadi olahragawan, wqwqwq. Memasuki usia senja, bapak masih rajin lari-lari kecil dan mengikuti trend olah raga di masa pendemi yakni bersepeda bersama kawan-kawannya.
Ketika kecil, setelah bapak menunaikan shalat subuh. Tak jarang mengajakku lari-lari kecil di sekitar desa. Saya digendong dan mata saya mengamati apa yang terjadi di sekitar. Selain diajak lari-lari kecil, terkadang juga diajak untuk bersepada berkeliling kota. Upaya mengetahui nama-nama jalan yang berada di kota, dibantu oleh bapak. Hingga lorong-lorong kecil atau jalan tikus tertentu untuk menghindari terjadinya operasi sepeda motor kala itu, bapak hafal diluar kepala, hehehe.
Budaya apresiasi dari bapak, salah satu di antaranya ketika ujian sekolah usai. Biasanya diajak untuk makan mi pangsit berdua di sebuah warung yang dekat dengan pertigaan. Selain itu masih banyak lagi.
Kenangan terhadap jalan, hingga sekarang masih tersimpan dalam memori. Ditambah lagi bisa ngansu kaweruh dengan begawan sejarah perkotaan ketika berada di Kota Pahlawan.
Jika berbicara tentang ibu, ialah madrasah pertama bagiku. Saya ingat betul, bagaimana upaya ibu mendidik. Seperti membelikan poster alfabet di pasar tradisional, nama-nama hewan, dan sebagainya. Ba’da maghrib biasanya ibu dengan tlaten mengajari saya.
Juga diajari untuk menulis aksara dengan tlaten. Ketika belajar menulis angka 1-10, angka 9 merupakan angka yang paling sulit menurut saya waktu itu. Namun dengan kesabarannya, ibu bisa menuntun saya untuk menulis angka 9 dengan baik.
Di masa TK, ibu mengantarku dengan senang. Ibu mendandaniku dengan rapi. Rambut disisir rapi dan diberi bedak tipis. Tak lupa minyak telon senantiasa melumuri tubuhku bak do’a yang senantiasa ia panjatkan. Sepeda ontel menjadi saksi bisu kegigihan ibu mengantarkanku mencari ilmu. Sepanjang perjalanan, sinar sang surya menyinari dan pemandangan sawah terhampar luas. Sebelum berkendara, tak lupa ibu mengucap basmalah, hal itu terdengar jelas oleh telingaku, dan mengikat kakiku yang mungil agar tidak masuk jeruji pada roda sepeda.
Budaya apresiasi yang coba dicontohkan oleh ibu, seperti ketika telah menerima laporan hasi belajar (rapor) diajak ke Pasar Kota. Mengingat jarak madrasah dan pasar kota tidak terlalu jauh. Ketika sampai di pasar, ibu membelikan beberapa kaos. Selain itu, budaya apresiasi yang dilakukan ibu banyak sekali hingga tak terhingga. Ucapan matur sembah nuwun berjuta-juta tak akan bisa membalas jasanya.
Ketika berbicara tentang kakak laki-laki atau yang biasa saya panggil “Mas” kepribadiannya sangat berbeda denganku. Foto dalam artikel ini, ialah ketika mas dikhitan. Dalam foto itu (saya lupa tahunnya) ia mengenakan songkok nasional dan mengenakan sarung batik. Dan Saya berada di pangkuan bapak. Dalam foto itu, keluarga kami mengenakan batik seragam.
Dari segi iq, mas lebih unggul dari pada saya. Ia tipikal orang-orang praktik dan lapangan. Tak jarang ketika dihadapkan dengan buku, dengan kepercayaan diri yang tinggi ia terkadang bilang “sudah baca dan hafal diluar kepala”, wqwqwq. Itu salah satu triknya untuk mengelabuhi ibu ketika disuruh belajar. Padahal di kamar sedang mendengarkan musik dan kemudian ia tertidur. Buku hanya digunakan sebagai pajangan, dan memberi efek gelap pada mata dengan posisi buku terbuka menutupi wajahnya.
Namun saya banyak belajar juga dari mas. Referensi mengenai dunia permusikan, warung kopi, dan sepak bola tidak usah ditanyakan lagi. Teringat ketika pulang dari sekolah, ia biasanya memutar musik seperti Paterpan, Superman Is Dead (SID), A7X, dan lain-lain. Dan ketika klub sepak bola kebanggaan berlaga, saya, mas, dan bapak pergi ke stadion untuk menyaksikan. Atau ketika pagi hari, sebelum berangkat ke madrasah, biasanya menonton liputan olah raga. Juga ketika akhir pekan, kita biasanya menonton liputan olah raga berdua.
Hal itu yang tergambar dari sosoknya ketika berbicara tentang mas. Tak jarang, guyonan hingga berujung adu jotos pun pernah kita lakukan, wqwqwq. Kesedihan yang timbul dari sanubari ialah, ketika kita untuk sementara waktu harus berpisah. Karena waktu itu, mas melanjutkan studi di luar kota. Namun sekarang, ia bersama istri telah membangun rumah dekat dengan rumah yang dibangun bapak dan ibu. Hal itu memberi suntikan semangat kepada saya untuk berkelana dalam rangka mencari ilmu.
Walaupun nama kita hampir mirip yang bagian depannya. Namun lebih banyak bedanya. Tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kemarin malam, terbesit dalam fikiran untuk mengetahui perbedaan karakter antara saya dan mas. Dari cerita ibu, saya bisa menangkap. Sifat atau karakter anak, dipengaruhi oleh lingkungan. Dan ketika kakak masih kecil, berada di masa-masa (awal) perjuangan membangun hidup. Mas digendong oleh ibu untuk ikut menggembalakan kambing-kambing di lapangan. Dan ketika aku kecil, aku tidak menemui momen seperti itu. Hal tersebut merupakan salah satu di antara perbedaan karakter kita. Mas cenderung keras, dan saya tidak begitu menyukai kekerasan (lebih santai). Namun perbedaan inilah yang menambah keseruan dan senantiasa menghidupkan denyut kehidupan di keluarga.
Itulah sedikit cerita dari madrasah pertama sebagai bekal mengarungi kehidupan yang fana dan penuh tanda tanya. Bersyukur rasanya, bisa berdinamika di keluarga ini. Dalam hal mau jadi apa? Bapak dan ibu bersifat liberal (memberi kebebasan), kemudian ketika terjadi masalah dalam keluarga menggunakan cara-cara demokratis (berunding di meja makan), dan dalam hal urusan agama ketika kecil otoriter (ketika ngaji harus ngaji), namun menginjak usia dewasa bapak dan ibu tidak seotoriter dulu.
Kita akan senantiasa abadi, tidak hanya berupa foto madrasah pertama (keluarga). Melainkan lebih dari itu, kenangan akan semuanya terpatri dalam jiwa dan raga. Dan ketika melihat foto madrasah pertama, memberi suntikan semangat dalam mengarungi kehidupan yang fana dan penuh tanda tanya.
Surga Pojok Kota, 17 Juli 2020