Ketika Si Kecil Datang dan Bagaimana Dia Mampu Membawaku Berselancar di Masa Lampau
Keberadaan Si Kecil dalam lingkaran keluarga besar bak embun di tengah dahaga. Kedatangannya di awal dengan cara diundang, namun kedatangannya di lain waktu tanpa undangan. Anehnya, ia juga mampu membawaku berselancar di masa lampau.
Kabar
bahagia berhembus. Ketika Si Kecil datang dan menyapa sinar mentari. Raut muka
bahagia mewarnai wajah ayah dan mamahnya. Ketika ia masih bayi, saya sering
melihat ia dijemur oleh mamahnya saban pagi. Hal itu memberi pengaruh positif
bagi tubuh Si Kecil dan mamahnya.
Ketika
menjelang kedatangannya di surga pojok kota. Saya disuruh paman untuk membeli
bunga dan berbagai peralatan di Pasar Hate bersama ibu yang jaraknya tidak
terlalu jauh dari rumah apabila ditempuh dengan menggunakan sepeda motor.
Ketika mendengar “Pasar Halte” hal itu membawaku menembus dimensi masa lalu. Melahirkan
memorabilia ketika saya masih dipanggil “Tole” dan ikut nenek ke pasar dengan
menggunakan becak Mbah Kasimo atau yang akrab dipanggil Mbah Mo.
Tak
lupa sesekali minta atau dibelikan langsung oleh nenek es krim loli di sebuah
toko dengan nama “Cipta Jaya”. Toko yang berdiri di Pasar Halte itu, menyimpan
kenangan tersendiri bagiku. Tentang foto masa kecil yang hitam putih salah satu
di antaranya. Kenangan ketika membeli es krim bersama nenek, dan kenangan ketika
ambil foto di Cipta Jaya untuk keperluan sekolah dan mengaji yang saya ambil bersama bapak.
Juga
pernah diajak ibu untuk beli bahan masakan di Pasar Halte. Ada beberapa
langganan ibu yang hingga sekarang masih saya hafal namanya. Ketika aku kecil,
berpisah beberapa centi meter saja dari ibu memberikan rasa takut yang luar
biasa. Ketika berada di luar rumah, saya tidak bisa jauh dari tangan ibu.
Begitupun ketika berada di Pasar Halte. Lalu-lalang orang dan bau pasar yang
khas plus campur aduk memiliki
kesan dan kenangan tersendiri.
Ada
nenek-nenek penjual pisau, tasbih, dan lain sebagainya. Begitu khusyuk
memutarkan tasbih satu per satu. Saya lihat dari kejauhan nenek itu, sembari
melemparkan senyum kepadaku dengan gigi peraknya. Lorong penjual lot-lotan yang
selalu terkenang. Permainan bak undian nasib itu, menjadi permainan yang penuh
tanda tanya dan juga bisa menimbulkan kecanduan.
Tahun
ini, Pasar Halte yang menyimpan memorabilia akan direnovasi. Bangunan-bangunan yang
lama dan tua, dirobohkan. Hanya kenangan dan sebuah nuansa asing yang mungkin
akan terasa ketika berkunjung lagi ke sana. Namun land mark berupa pohon beringin kelihatannya masih kokoh berdiri.
Ketika melewati pohon beringin yang berada di Pasar Halte mengingatkanku pada
sosok perempuan tua yang menjual tembakau, bunga untuk nyekar, pisang, dan
lain-lain.
Si
Kecil tidak akan pernah melihat secara dalam dan detail bagaimana wajah Pasar Halte
yang ada ketika aku masih anak-anak hingga dewasa. Dan semoga ketika Si Kecil
telah mampu membaca dan tertarik dengan dunia literasi, kiranya sudi membaca dan memahami tulisan sederhana ini.
Begitupun
ketika nenek menjadi saksi hidup adanya rel kereta api arah Jatirogo-Bojonegoro,
saya juga tidak bisa mengetahuinya secara nyata. Dan bagaimana dinamika sosial
dan budaya (keramaian) pada masa itu. Sekarang, mungkin sebuah tugu yang akan
becerita, kemudian jembatan yang muram, rel kereta api yang dibangun masa
Hindia Belanda, dan bekas marka jalan “awas ada sepur”.
Ketika
menjelang kedatangan Si Kecil, suatu hari di tahun 2017 yang masih pagi, saya
bergegas mengantarkan ibu pergi ke Pasar
Halte dalam rangka membeli bahan masakan untuk menyambut kedatangan Si Kecil. Rasa
kantuk tak tertahan menyerang, ketika mata agak ngantuk, menjadi terhibur
ketika melihat delman dan kuda yang setia dengan majikannya sedang menunggu
penumpang tiba.
Setelah
beberapa menit, ibu telah belanja keperluan dalam rangka menyambut kedatangan Si
Kecil, kemudian pulang ke rumah. Di sekitar rumah terlihat ramai. Paman sedang
menggali tanah, persiapan untuk mengubur benda-benda (ari-ari, sisir, dan lain-lain). Itu merupakan tradisi
yang berkembang di desa kita.
Aku
tidak begitu ingat, kemudian apa yang terjadi setelahnya. Kemudian ketika Si Kecil
datang, saya juga ikut senang. Apalagi ketika sekitar bulan Ramadhan yang
merupakan masa-masa awal ketika ia menghirup udara di dunia, saya sering
menjenguknya. Membelai halus rambutnya dan sesekali mengecup keningnya.
Tangisannya
mampu membangunkan seisi rumah. Mamah Si Kecil, nenek, dan bibi, dengan sigapnya
membuatkan susu di tengah malam ketika dia menangis. Suara tangisannya
terdengar hingga telinga saya, mengingat jarak rumah yang tidak terlalu jauh.
Apabila
susu jadi, dan mendarat di mulut si kecil, kesunyian lahir kembali. Waktu itu
awal-awal saya hobi berkelana. Bolak-balik dari Kota Ledre ke Kota Pahlawan.
Ketika berada di kampung halaman, Si Kecil memiliki semacam sihir tersendiri.
Yang mampu menyihirku untuk selalu dekat dengannya.
Berhubung
waktu itu ia masih bayi (belum genap satu tahun). Saya belum memiliki keberanian
untuk menggendongnya. Tradisi potong rambut, dan berbagai tradisi lain telah dilalui
Si Kecil. Masa-masa pertumbuhan dan perkembangannya, saya tidak begitu faham.
Hanya tahu tentang pertumbuhan itu sifatnya kuantitatif, sedangkan perkembangan
sifatnya kualitatif.
Namun
saya mencoba untuk mengamati perubahan yang terjadi padanya. Ketika saya akan berangkat berkelana, tak lupa sesekali menciumnya dan memandangi wajahnya.
Kemudian ketika pulang kampung, saya amati lagi, tentang perubuhan apa yang
terjadi padanya.
Tentu
ayah dan mamahnya yang paling tahu. Saya
hanya bisa memantau wajahnya, senyumnya, dan gerak-geriknya melalui dunia maya
lewat gawai. Dan diulang tahunnya yang pertama, saya buatkan birthday card digital khusus untuknya.
Saya
desain dengan sederhana, namun penuh dengan rasa cinta dan kerinduan. Pasalnya,
saya sedang berada di Kota Pahlawan waktu itu. Seusai melakukan kegiatan di
sebuah warnet, dan kemudian ketika berada di masjid kampus ada pesan balasan
dari paman setelah aku mengirimkan kartu ucapan kepada buah hatinya. Sembari
mengenakan sepatu dan kaos kaki di depan masjid, dan bersiap mengikuti kelas
selanjutnya, langit Kota Pahlawan yang mendung menjadi saksi bisu peristiwa itu.
Rasa
iba menyapa ketika Si Kecil harus dirawat di rumah sakit. Ia sakit, hal itu
membuat badannya agak kurus. Saya hanya bisa mengirim do’a untuknya dari jarak
jauh. Dan sesekali, paman mengirimkan foto maupun video tentang aktivitasnya
ketika Si Kecil menjalani perawatan di rumah sakit. Dinding yang berwarna putih
dan lampu di indekos menjadi saksi bisu, saya menjalani kehidupan pada masa
itu.
Banyak
sekali kenanganku tentangnya. Kemudian ketika ia semakin tumbuh dan berkembang,
memberanikanku untuk menggendongnya dan mencoba untuk ngudang atau memberikan ia hiburan. Terkadang menghiburnya dengan
lagu dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, lagu era Hindia Belanda, terkadang juga serpihan lirik dari kidung Jawa. Juga
mengajaknya menikmati bagian alam raya yang berada di sekitar rumah.
Sering
juga ketika berada di kampung halaman, saya sempatkan untuk menemuinya di kamar
tempat ia beraktivitas. Tontonan kartun menjadi kesukaannya. Dan dot yang
berisi carian susu sering bersemayam di mulutnya. Ketika momen hari raya, ia
selalu menjadi pusat perhatian. Baik dari kalangan kelurga, tentangga, atau
masyarakat luas.
Seiring
bertambahnya usia. Ia juga sering ikut bapak naik sepeda motor. Dan pernah di
suatu kesempatan, ia menjadi saksi hidup bagaimana saya harus berpisah sementara
waktu dengan keluarga untuk belajar di alam raya. Dari balik kaca jendela bus
kota arah Kota Ledre menuju Kota Pahlawan, saya melihat raut mukanya dari
kejauhan sembari melambai-lambaikan tangannya yang mungil.
Ketika
berada di sebuah tempat nun jauh sana. Terkadang, fikiranku mengarah padanya.
Beberapa kali ketika fikiranku mengarah tentangnya. Saya coba mengabadikan
dengan cara mengikatnya dalam wujud aksara. Seperti puisi, artikel, dan lain
sebagainya.
Darinya
saya juga banyak belajar. Ketika berada di kampung halaman. Saya mencoba untuk
lebih dekat dengannya. Bermain dengannya menggunakan boneka, puzzle, bola, gamelan, wayang,
dan aneka jenis mainan. Kenangan mengenai masa-masa bayinya, abadi dalam foto
dan buku catatan harian.
Saya
ingat, bagaimana ia tertawa kecil, belum begitu pandai bicara, semangat dalam
latihan berjalan, dan aktivitas lain yang ia lakukan selalu mengundang tawa
semesta. Ketika saya pulang dari proses belajar di alam raya (berkelana) ia
sekan-akan memandangku sebagi orang asing. Karena, di sekitar tahun 2017 hingga
sekarang, saya begitu giat berkelana dan banyak ibrah yang saya peroleh dari
proses belajar plus mengajar di alam raya.
Namun
ketika beberapa hari di rumah, ia sudah tak asing lagi dengan saya. Kemudian
ketika saya berkelana lagi, dan pulang ke kampung halaman, lagi-lagi ia merasa
asing. Namun sesekali, ia masih mau apabila bermain atau saya gendong. Ketika
pulang dari perantauan.
Sekarang ia masih
balita. Bagaimana ia bergembira dalam menjalani hidup, berlari, bersembunyi
ketika dicari, mengendarai sepeda roda tiga, mengucapkan kata “ayah”, “mamah”, “apak/bapak”,
“abuk/ibu”, “mas”, berdo’a, menyebut warna dalam bahasa Inggris e.g.: red, green,
blue, black, white, dan segala
aktivitas yang ia lakukan sering kali menimbulkan senyum bagi siapapun yang
melihatnya.
Mengingat
ia masih balita. Di waktu tertentu, saya pernah mengantarkannya ke posyandu
bersama ibu. Ketika mendengar posyandu, akan melemparkanku pada dimensi masa lampau
yang biasanya diadakan di sekitar rumah kepala desa. Kemudian timbangan dengan
model kain, menyimpan teka-teki bagi siapa saja yang melihatnya. Ada bayi yang
senang ketika masuk di timbangan itu, ada juga yang menangis, dan ada juga yang
tidak mau untuk dimasukan timbangan.
Ketika
sekarang, mendengar posyandu. Mengingatkanku pada sosok Prof. Sajogyo (begawan
sosiologi pedesaan) yang juga memberikan sumbangsih pemikiran dan tenaga
tentang sosiologi pedesaan. Dan ketika membahas tentang kajian tersebut,
posyandu merupakan bagian di dalamnya.
Selain
itu juga mengingatkanku pada Mr. Vivek Neelakantan. Beliau merupakan sejarawan
India yang meneliti tentang sejarah kesehatan di Indonesia. Ketika berkunjung
ke puskesmas yang berada di kecamatan, maupun posyandu yang berada di desa.
Nama Vivek Neelakantan juga muncul dengan sendirinya di otak saya. Mengingat beliau
pernah menjadi dosen tamu dan mengisi seminar di Kota Pahlawan.
Ketika
menunggu Si Kecil yang sedang berada di posyandu. Seakan-akan pohon asam besar yang
berdiri dekat dengan posyandu juga pertigaan jalan, mengajakku bercerita
tentang tukang cukur rambut yang pernah buka salon di sekitar wit asem itu. Setelah posyandu, biasanya
menerima susu, biskuit, dan tentunya sebuah kertas dengan latar belakang putih yang
ada gambarnya ibu-ibu mengenakan kebaya dan juga grafik pertumbuhan anak.
Juga
menyaksikan bagaimana tukang becak dengan sabar dibalut dengan guyonan bersama
kawan-kawannya menunggu penumpang. Anak-anak berseragam putih merah, sedang
menyebrang jalan. Seorang laki-laki yang bertugas membantu anak-anak dalam
rangka menyebrang jalan dan perempuan yang menjual makanan maupun minuman di kantin sekolah, tampaknya
mudah diingat oleh anak-anak, dan jasanya juga sangatlah besar.
Tak
terasa, ketika membahas Si Kecil juga akan melemparkanku pada dimensi masa
lalu. Kedatangan Si Kecil pertama kali di surga pojok kota dengan undangan,
namun di usianya tiga tahun. Ia seringkali datang tanpa diundang, pernah di
beberapa momen mengagetkanku.
Di
tahun ini, aktivitas dengannya, terkadang menjemputnya pulang setelah menjalani
pendidikan di sebuah kelompok belajar yang berada di dukuh sebrang. Ketika ada
pandemi, kelompok belajarnya untuk sementara waktu libur.
Mengingat
mamah Si Kecil ketika pagi hingga menjelang sore bekerja di sebuah rumah sakit, Si Kecil bersama nenek ketika menghadiri kegiatan ngansu kaweruh
di kelompok belajar. Ketika ia mengenakan hijab, terkesan lucu. Apalagi ketika
ia mengenakan baju olahraga, alangkah lucunya ketika badannya yang sehat dan
perutnya yang buncit begitu kentara jika mengenakan seragam olahraga dengan
kombinasi warna orange dan hijau.
Ia
memiliki beberapa jenis tas. Ada tas model pisang, yang ia gunakan ketika
belajar di rumah. Dan tas berwarna merah muda, yang ia gunakan untuk belajar di
luar rumah. Sesekali saya juga ikut belajar (lagi) dengannya. Seperti mewarnai
objek berupa hewan-hewan, tetumbuhan, kendaraan, angka, huruf, dan lain-lain.
Dan juga mencoba mengasah (kembali) keterampilanku tentang kolaborasi warna
primer, sekunder, dan tersier.
Di
masa new normal, ia biasanya bermain ke luar rumah. Bersama teman-temannya.
Menjelang awal tahun ajaran baru (tahun ini), ia akan belajar di sebuah lembaga pendidikan
yang jaraknya agak jauh dari rumah dan agak dekat dengan rel kerata api. Dan juga menggunakan bahasa Inggris dalam hal berbicara.
Akhir-akhir
ini, ia sering kali datang tanpa diundang. Terkadang membangunkan saya, ketika
sedang tidur. Mengingat saya merupakan anggota Jam’iyyah Ahlith Thariqah
Al-Insomniah wa Jurnabiyah, mungkin ia merasa aneh dengan aktivitas yang saya
lakukan. Sebelum kamar biru saya tempati sebagai tempat untuk merenung dan
berfikir, merupakan kamar kakak yang ada spring
bed.
Dia
sering melompat-lompat kegirangan di spring
bed. Dan sayalah yang memberi sugesti kepadanya, kalau spring bed seperti trampolin, wkwkwk. Matanya yang bulat,
seakan-akan menerima pesan yang saya sampaikan kepadanya.
Kemudian
setelah kamar biru beralih fungsi. Kini, Si Kecil datang dengan membuka pintu
kamar kemudian duduk di samping saya. Bagi saya, kedatangannya tanpa undangan
saya maknai sebagai hiburan. Di tengah melakukan proses menulis, saya
hentikan terlebih dahulu. Dan mengalihkannya kepada video hewan-hewan, film
kartun, dan lain-lain.
Ketika
ia datang pada saat saya membaca. Saya juga ajak ia membaca. Berhubung, saya
sedang membaca buku pinjaman dari Imam Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah
Al-Insomniah wa Jurnabiyah berjudul Istanbul:
Kenangan Sebuah Kota yang merupakan terjemahan dari karya Orhan Pamuk
dengan tajuk Istanbul: Memories of a City,
saya ajak Si Kecil untuk melihat gambar tentang Istanbul. Kemudian, saya coba
ajukan pertanyaan kepadanya. Seperti menebak nama dari sebuah objek, sekarang ia tahu,
gambar mobil, rumah, dan sebagainya.
Selain
itu, terkadang ketika saya sedang mengisi seminar daring atau menjadi peserta
diskusi daring. Ia kerap usil. Mencoba menyapa peserta seminar dengan say Hello, atau mencoba menunjukkan
eksistensinya dengan cara-cara rekreatif. Tak jarang, ada salah seorang peserta
seminar yang bertanya kepada saya tentang sosok anak kecil yang mengucapkan
kalimat sapaan itu.
Bagaimana
pun situasi dan kondisinya, ketika ia datang senantiasa membawa kebahagiaan.
Saya banyak belajar darinya, salah satu di antaranya mencoba untuk belajar
secara teori maupun praktek dalam hal memahami dan mengerti seorang anak.
Itulah
sedikit gambaran tentang kedatangan Si Kecil dan bagaimana ia mampu membawaku
berselancar di masa lampau. Semoga, ia menjadi anak yang berguna bagi nusa,
bangsa, dan agama.
19-07-2020