Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Selasar Bersama Cak Lukman Chakim dan Memorabilia Menyeruput Kopi

Setalah hujan di sore hari turun membasahi bumi. Penjual tempe melintas di depan rumah. Di balik kaca jendela saya memperhatikan semua. Dan mencoba mengabadikan momen di Selasar bersama Cak Lukman lewat tulisan.



 

Halo kawan, apa kabar? Apakah di rumahmu juga barusan turun hujan? Semoga engkau senantiasa bahagia dimanapun berada. Baik, pada tulisan kali ini, saya mencoba mengabadikan momen menyeruput kopi dalam satu meja bersama seorang aktivis senior dari Bojonegoro. Saya sebut senior, karena lebih tua dari saya. Serta ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan wawasannya tentu lebih luas dari pada saya. Seluas cintanya dalam menggerakkan geliat literasi berasama kawan-kawannya di desa.

 

Kali ini saya berkesempatan ngopi eksklusif bersama Cak Lukman. Hal itu terjadi beberapa hari yang lalu. Saya mengenal dan tahu Cak Lukman ketika mengikuti Sekolah Keterbukaan dan Advokasi (SAKSI) Bojonegoro Institute. Kesan pertama yang saya tangkap darinya, ia merupakan sosok yang bisa dikatakan semi idependen. Setengah merdeka, karena manusia tidak bisa sepenuhnya merdeka wabilkhusus dari takdir tuhan yang qat’i seperti mati.

 

Kala itu rambutnya agak panjang. Mengenakan kaca mata, dan pernah di suatu momen mengenakan kaos hitam bertuliskan “PLURASLISME”. Kaca mata yang ia kenakan memberi gambaran kalau ia terkadang suka membaca. Membaca buku-buku pemikiran, pendidikan, puisi, dan sebagainya. Terbukti dengan kalimat yang ia ucapkan, saya sering kali kurang bisa memahami apa yang ia lontarkan dengan bahasa ilmiah. Hal tersebut memberi gambaran sisi intelektual dari Cak Lukman Chakim. Dan membuktikan bahwa saya harus banyak belajar lagi darinya dan juga belajar kepada siapun juga.

 

Dalam hal membaca wanita, Cak Lukman tampaknya masih mengeja. Mencoba untuk menyusun kalimat yang bukan hanya sekedar kalimat, wkwkwk. Dan suatu saat nanti, kalimat itu akan keluar dari mulutnya sebagai legalisasi hubungan dengan wanita yang ia cinta, wasek. Cak Lukman sementara waktu mengaja wanita secara tidak langsung. Melalui karya sastra salah satu di antaranya puisi. Dan apabila ia berhasil menaklukan wanita plus meresmikan hubungan, saya akan ngansu kaweruh lagi dengannya terkait hal itu.

 

Lulusan salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Surabaya itu perokok aktif. Meskipun saya bukan perokok, saya tetap senang bergumul dengan kawan-kawan yang merokok atau tidak merokok. Saya bukan kriteria pemuda kesukaan Bung Karno. Karena dalam suatu kalimat yang diungkapkan oleh Presiden Pertama RI, (kalau tidak salah) beliau lebih suka pemuda yang merokok, minum kopi, dan berdiskusi sembari memikirkan nasib bangsa ini. Saya bukan tipikal pemuda menurut Bung Karno secara kaffah. Mungkin hanya setengah. Karena saya suka ngopi, diskusinya tidak melulu soal kondisi bangsa, dan belum merokok lagi.  

 

Saya menghargai Cak Lukman ketika menawarkan lintingan tembakau dengan meperhatikan kemasan yang ia bawa. Baunya saya suka, rokok terwe yang dibawa Cak Lukman ketika ngopi di Selasar, dikemas dengan wadah plastik, plus ada gambar seorang pria mengenakan topi koboi. 


Sebagai warga daerah yang konon dikenal lumbung pangan dan energi, Cak Lukman termasuk pewaris sejarah. Sebab dalam lambang daerah Bojonegoro, sebelum padi dan kapas, lambangnya ialah jati dan tembakau. Kualitas jati dan tembakau dari Bojonegoro, tak usah diragukan lagi. Sebagai penghormatan, kebiasaan, penyampai pesan, dan menghidupkan denyut perekonomian, maka dari itu Cak Lukman Chakim masih istiqomah berada di jalur sunni atau nyusu geni, wkwkwk.  

 

“Yog, rokok….”

 

“Yo Cak…, monggo..aku jek durung kudu rokok, wkwkwk”.

 

Dialog di atas merupakan cuplikan obrloan ngalor-ngidul ketika ngopi di Selasar. Cak Lukman yang merupakan sarjana pendidikan sedang membumikan gerakan literasi di desanya. Tentu beliau tidak sembarang orang. Hal tersebut bak mencari jarum di tumpukan jerami. Ketika mencari orang yang peduli menghidupkan gerakan literasi di desanya.

 

Tercatat, hingga tulisan ini lahir. Seingat saya, telah tiga kali berkunjung ke rumah Cak Lukman Chakim alias Clukmanuaverous alias Lontar Lecture (nama blog Cak Luk), dan satu kali Cak Lukman melangkahkan kaki di rumah kecil tak bernomor yang berada di Pohagung (surgaku). Rumah Cak Luk berada di sebuah desa yang ada di Kecamatan Dander. Salah satu land mark yang berada di sekitar daerah kediaman Cak Lukman ialah Gudang Kapuk.

 

Kalau ngopi di beberapa warung kopi yang tersebar di Bojonegoro bersama Cak Lukman lebih banyak kuantitasnya dari pada ngopi empat mata di rumah saya. Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan untuk ngangsu kaweruh dengannya (lagi).

 

Kali ini kita ngopi di warung kopi bergaya indie yang berada di area sekitar Central Business District (CBD)  Bojonegoro. Tempatnya di Selasar yang tepatnya dekat dengan rel kereta api. Diperlukan keseriusan untuk mencari lokasinya. Namun tak usah khawatir, sebab google maps juga telah ada ulasan tentang Selasar.

 

Ketika berada di Selasar. Mengingatkan saya pada Filosofi Kopi yang berada di Yogyakarta. Telah satu kali saya menginjakkan kaki ke Filosofi Kopi yang berada di Kota Pendidikan. Kalau di Kota Ledre, untuk memperoleh suasana yang mendukung seperti diskusi mungkin bisa diadakan di Selasar.

 

Karena ada beragam tempat yang bisa kamu pilih. Seperti lesehan, duduk di kursi yang berada di Joglo, dan juga bisa menikmati pemandangan di sekitar Selasar dengan ngopi di bagian depan. Udara yang berhembus akan menyapa kulitmu. Bunyi kereta yang melintas memberi kesan tersendiri di Selasar yang tidak dimiliki oleh warung kopi lain yang berada di Kota Ledre.

 

Ketika itu, Cak Lukman telah menunggu di sebuah tempat duduk yang berada di area Joglo. Mudah menemukannya, dari belakang saya bisa menemukan Cak Lukman kemudian langsung menuju ke tempatnya dan tak lupa menyalaminya.

 

Sebelum obrloan terjadi. Kurang afdol kalau belum pesan kopi. Maka dari itu saya pesan kopi terlebih dahulu. Sembari menunggu cangkir yang berisi cairan bernama kopi, kita basa-basi seperti biasa. Menanyakan kabar, aktivitas lampau dan terkni, dan sebagainya.

 

Ketika kopi datang menjadi penguat dan pemanis obrloan. Kepulan asap yang dihasilkan dari  rokok Cak Lukman menjadi saksi bisu dan pengindah obrolan di sore menjelang maghrib. Obrolan ngalor-ngidul terjadi. Dari hal-hal yang sifatnya receh hingga membicarakan masa depan yang absurd. Namun kami percaya dan senantiasa akan menjalani kehidupan dengan bahagia menurut versi masing-masing. Dan tak lupa menjadi manusia yang bermanfaat bagi sekitar dengan apa yang kita bisa. Misalnya riset tentang indeks demokrasi di Bojonegoro, reforma agraria di Bumi Angling Dharma, Bojonegoro dalam tinjauan historis, mengkaji ulang reformasi militer di Bojoneoro, dan senantiasa memperhatikan kondisi lingkungan, di daerah yang memiliki semboyan Jer Karta Raharja Mawa Karya.

 

Cak Lukman Chakim sedang menunggu kedatangan seorang wanita. Dan mengingat ngopi terjadi pada malam jum’at saya tak bisa berlama-lama. Katanya, pertemuan Cak Lukman dengan seorang wanita membahas sebuah buku. Setelah adzan maghrib bekumandang, saya berpamitan dengan Cak Lukman dan pulang ke rumah.

 

Akhir kata bukan akhir segalanya, sukes terus untuk menghidupkan gerakan literasi di Desa, semoga di lain waktu saya bisa ngangsu kaweruh ke sana. Teringat sabda Surayah (Imam Besar The Panas Dalam) yang digunakan sebagai opening lagu bertajuk Bunyi Sunyi yakni, “Jika Allah menghendaki, kita bisa lagi bertemu.”

 

 

 

Planet Biru, 15 Juli 2020